Terima kasih anda telah mengunjungi blog Yayasan Maraqitta'limat***Info Yayasan Maraqitta'limat bisa dilihat di yamtia.wordpress.com***Pemondokan jamaah haji tahun ini paling jauh 4 km dari masjidil harom***Pelajar di Makkah Mukarromah siap membantu jamaah hajji selama berada di Makkah Mukarromah***Para Relawan siap kembali dikirim ke Gaza

Jumat, 14 Mei 2010

Pembacaan Lontar, Tradisi Masyarakat Dayan Gunung


Suara merdu lantunan A. Sirbayan (63), menggema di kegelapan malam yang menyelimuti Desa Sukadana Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Larik-demi larik yang tertulis dalam Lontar terus dibaca dengan alunan tembang dang-dang, sinom dan pangkur, membuat dinginnya angin malam tanpa terasa. Sementara yang bertindak sebagai penerjemah adalah Saidah Nurcandra.


Tulisan dalam Lontar dengan menggunakan hurup Jawa Kuno, tampaknya sudah mendarah daging pada sosok kedua , lelekai paruh baya yang lahir di Desa Sukadana Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara.Lontar yang ditulis pada potongan daun Jontal inilah warisan nenek moyang, yang bila dibaca dengan lantunan tembang disebut dengan “Pepaosan”, yakni salah satu seni sastra yang terus dilestarikan oleh masyarakat Lombok pada umumnya, dan Dayan Gunung pada khususnya. Tembang seperti itu dalam masyarakat Bali dikenal dengan mababasan atau macapatan dalam masyarakat Jawa.


Acara Pepaosan yang biasa dilaksanakan pada malam hari ini, dilakukan oleh empat orang laki-laki atau lebih dengan menggunakan pakaian adat asli Dayan Gunung. Salah seorang diantara mereka, bertindak sebagai pembaca yang sekaligus penembang, dan seorangnya lagi sebagai penerjemah atau pujangga, sementara yang lainnya sebagai pendukung tembang.


Menurut Saidah Nurcandra, Pepaosan ini pernah tenar di kecamatan Bayan, sekitar tahun 2004, dimana ketika itu setiap malam minggu, digelar sebuah acara pembacaan Lontar oleh Radio Komunitas Primadona FM. Dan hampir dua kali seminggu melakukan rekaman pepaosan. “Namun setiap casset rekamannya jadi selalu diminta beli oleh pendengar rakom Primadona dengan kisaran harga Rp. 30-50 ribu per satu casset”, tuturnya pada Kombinasi, ketika ditemui di kediamannya di Dusun Teluk Desa Sukadana Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara pada 14 Mei kemarin.


Saidah Nurcandra yang juga penyiar Selemor Ate (pengobat hati) yang isi siarannya khusus tentang budaya Dayan Gunung dengan menggunakan bahasa Sasak ini cukup banyak digemari oleh pendengar. “Karena disamping beliu dapat meniru suara perempuan, juga seringkali bertindak selaku dalang wayang kulit, yang sejak dimekarkan Lombok Utara menjadi sebuah daerah otonomi baru pada tahun 2008 lalu, perhatian pemerintah dinilai masih minim terhadap beberapa budaya peninggalan nenek moyang kita, termasuk budaya Pepaosan ini”, katanya.


Lebih-lebih generasi mudanya sudah banyak tidak tertarik lagi belajar membaca lontar atau pepaosan. Mereka menganggap acara tembang itu sudah kurang relevan lagi dengan zaman sekarang. Ia prihatin melihat hal itu. Oleh karena itu, dirinya bersama beberapa tokoh adat Desa Sukadana, mendirikan sebuah kelompok seni budaya pembacaan Lontar, yang belakangan dikenal dengan nama kelompok pepaosan Sedalu-Dalu. Melalui kelompok pepasosan yang terdiri dari puluhan remaja dan pemuda ini, Saidah Nurcandra melakukan bimbingan belajar membaca Lontar sekaligus tembang pepaosannya. “Kelompok Sedalu-Dalu ini sudah aktif sejak tahun 1999, dan sudah banyak menghasilkan generasi muda yang mampu membaca sekaligus sebagai penterjemah”, ungkap Saidah yang mengaku tidak tamat SD ini.


Tembang Dalam Pepaosan


Tembang, menurut pendapat A. Sirbayan, adalah hasil cipta rasa dan karsa dalam mengungkapkan perasaan yang diatur dalam baris dan bait serta perpaduan antara aksara dan kidung. Tembang sangat terikat dengan kaidah-kaidah ketentuan yang sangat baku dan tidak bisa diubah menuruk keinginan sendiri, karena semuanya sesuai dengan ketentuan dari para pencipta atau penemu yaitu Wali Songo. “Sementara patokan atau intro tembang yang digunakan adalah, dang-ding-deng-dong dan dung. Dan ini diperguanakan sesuai dengan judul tembang”, jelas A. Sirbayan.


Tembang-tembang yang biasa digunakan, antara lain, maskumambang adalah tembang yang bila menemukan cerita-cerita sedih. Tembang Kasmaranda dan Sinom, digunakan oleh sang pembaca bila jalan ceritanya menggembirakan. Sementara tembang pangkur dan durma dilantunkan ketika dalam ceritanya terjadi kegelisahan atau peperangan sang raja. Sedangkan yang menjadi tembang biasa, artinya boleh ditembangkan dalam kondisi apa saja adalah tembang Kinanti dan Mijil, dan beberapa tembang lainnya seperti tembang Gambuh, Mugatruh, Pucung, Ginada dan Giris.


Salah satu contoh tempat penggunaan tembang Kasmarandana yaitu : Pratikle wonghakrami – Dudu brana dudu warna – Amung hati pahitane-kena pisan luput pisan, Ye gampang luih gampang, yen hangel-hangel kelangkung, tan kena tinambak harta. Artinya, Bila anda memilih pasangan untuk dijadikan istri. Pilihlah bukan karena ketampanan atau busananya yang indah, namun karena hatinya yang tulus suci. Karena bila salah memilih maka akan menjadi meleset. Dan bila mencari pasangan atau jodoh, jika dikatan mudah memang ia mudah. Pikirlah mateng-mateng sebelum itu terjadi, sebab yang namanya cinta sejati tidak bisa ditukar dengan harta.

Saidah Nurcandra menambahkan, tembang ditas menggunakan patokan “ding-dang-deng-dang-dung. Dan dalam menyusun setiap tembang, harus mengetahui atau mengikuti ketentuan jumlah suku kata tiap baris pertama sampai baris terakhir, sebab dalam tiap tembang barisnya berbeda-beda.


Saidah menambahkan, guru lagu dan guru aksara merupakan satu sistim atau patokan dalam menyebut lagu tiap-tiap baris. Namun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, kadang-kadang berbeda dalam menentukan patokan yang digunakan. Ada yang mennggunakan patokan kata yang lazim disebut 2,4. Ada pula yang menggunakan patokan kata yang disebut 1,3. Dan patokan kata yang terakhir inilah yang digunakan khususnya oleh masyarakat Lombok Utara atau Dayan Gunung.

Membudayakan Pepaosan Melalui Rakom Primadona


Lombok, merupakan sebuah pulau yang masih memiliki puluhan bahkan ratusan peninggalan sejarah. Demikian juga dengan Lontar memiliki banyak nasakah, baik yang menjadi koleksi lembaga maupun perorangan (para pemaos) dan pedanda. Di Bayan saja, menurut Saidah Nurcandra memiliki puluhan naskah.


Banyaknya naskah Lontar di Lombok Utara pada khususnya, masih mengenal pepaosan, seperti daerah lainnya di pulau Lombok. Bahkan di musium NTB sedikitnya tersimpan sekitar 1350-an naskah lontar. Naskah-naskah yang tersimpan di musim yang terletak di jln. Panji Tilar 6, Mataram ini cukup beragam, seperti lontar dengan judul “Rengganis”, “Jatiswara”, “Monyeh”, “Puspakerma”, dan “Amir Hamzah”.


Untuk membudayakan pembacaan lontar atau pepaosan, dan menarik generasi mudanya untuk mau belajar, rakom Primadona FM, kembali membuka sebuah program mingguan yaitu acara pepaosan yang penggemarnya masih cukup banyak terutama para orang tua dan tokoh adat setempat. Program acara pepaosan ini, tentu saja disambut baik oleh kelompok Sedalu-Dalu pimpinan Saidah Nurcandra. “Saya siap mendatangkan para pepaos ke studio primadona, dan bila perlu kita lakukan rekaman langsung, yang cassetnya bisa dipasarkan ke luar daerah Lombok Utara”, katanya sambil tersenyum menyambut program acara pepaosan ini.


Demikian juga dengan rekaman casset, permintaan terus berdatangan. Dan untuk memenuhi permintaan tersebut pengurus Primadona kembali menjalin kerjasama dengan kelompok pepaosan Sedalu-Dalu Desa Sukadana. Sementara untuk membuat casset rekaman, belum bisa dilakukan karena mengingat peralatan yang dimiliki rakom Primadona, belum memadai dan juga keterbatasan dana.


Di Kecamatan Bayan sendiri, hampir setiap ada acara gawe (pesta), selalu diisi dengan pepaosan, yang biasanya dimulai pada pukul 21.00 malam hingga menjelang pagi (subuh). Dan lontar yang dibacanya tergantung dari pesta yang dilaksanakan oleh masyarakat. Demikian juga pada hari-hari besar Islam, seperti maulid nabi, isra’ mi’raj, maka naskah yang dibacanya berkaitan dengan ajaran Islam yaitu lontar Jatiswara.


Dalam upacara adat, seperti menyongsong kedatangan Tahun Alif, yang dilaksanakan satu windu (8 tahun) sekali, sering dibacakan beberapa naskah, umpamanya “Kawitan” yang berisi tanya jawab Nabi Muhammad dengan malaikat dan “Purwadaksi” yang menceritakan kehidupan alam gaib tentang pencarian jati diri; sang tokoh mencari jati diri ke berbagai tempat, tapi akhirnya yang dicari itu ada dalam diri sendiri.


Pada upacara kelahiran bayi, masyarakat Lombok mendendangkan Lontar “Rengganis”. yang mengisahkan kehidupan raja yang merawat bayi tanpa istrinya. Raja dengan sabar memapakkan (mengunyahkan) nasi untuk sang putri yang tidak mendapatkan air susu ibu.


Selain kedua naskah di atas, pada acara khitanan itu kadang-kadang dilantunkan juga Lontar Kilabangkara”, yang mengajarkan perilaku pemimpin yang baik. Lontar itu kadang dibacakan pula pada acara perkawinan, dengan harapan sang suami dapat menjadi pemimpin yang baik bagi istri dan keluarganya kelak.


Yang menarik pada pembacaan itu, kalau naskah tidak selesai dibacakan, pemaos harus bisa mengubah cerita menjadi happy ending. Kalau tidak, mereka takut menemui penderitaan seperti cerita yang dibacakan.


Beragam upacara yang disebutkan di atas masih dapat disaksikan dalam kehidupan masyarakat Lombok. Tradisi lisan yang berakar pada tradisi tulis masih kuat. Bahkan, segala sisi kehidupan dikaitkan dengan ajaran yang ada dalam lontar. Itu sebabnya, mereka menyimpannya dengan rapi sebagai warisan. (M.Syairi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar