Terima kasih anda telah mengunjungi blog Yayasan Maraqitta'limat***Info Yayasan Maraqitta'limat bisa dilihat di yamtia.wordpress.com***Pemondokan jamaah haji tahun ini paling jauh 4 km dari masjidil harom***Pelajar di Makkah Mukarromah siap membantu jamaah hajji selama berada di Makkah Mukarromah***Para Relawan siap kembali dikirim ke Gaza

Minggu, 13 Juni 2010

Sejarah Hidup TGH.M. Zainuddin Arsyad (Bagian 3)

Oleh : Adlan Mamnun

Menerima Cemohan Dengan Sabar

Sepulang dari Makkah Al-Mukkaromah, Ustadz H.M. Zainuddin Arsyad menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, hampir setahun lamanya. Dan untuk memudahkan dalam pergaulannya di Desa Mamben Lauq, beliau sering menggunakan bahasa isyarat.

Akibatnya, muncul asumsi sebagian orang saat itu, yang menganggap Tuan Guru Bajang ini sengaja menggunakan bahasa Arab. Dan tidak sedikit juga yang mencemohkan bahkan mengejek beliau. Namun semua itu ditemia dengan penuh lapang dada dan kesabaran. Sebab bagi dirinya, hal itu bukan unsur kesengajaan, namun karena bahasa sehari-hari, ketika beliu bermukim di tanah suci.

Setelah hampir satu tahun menetap di Desa Mamben, akhirnya bahasa daerahpun mulai digunakan sedikit demi sedikit, sehingga lambat laun menjadi lancar.

Membantu Orang Tua Berdakwah

Melihat kesibukan orang tuanya, TGH.M.Arsyad sibuk dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, maka terbetiklah niat sucinya untuk membantu sang orang tua tercinta dalam menjalankan misi dakwah. Misinya ini diawali dengan mendirikan sebuah tempat pengajian atau majlis ta’lim. Di tempat inilah, Ustadz H.M. Zainuddin Arsyad mulai mengajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, bahasa Arab, Tauhid, Tafsir dan lain-lainnya.

Melihat kegigihan putranya dalam mensyi’arkan Islam, TGHM. Arsyad tentu sangat bersyukur kehadhirat Allah SWT. Bahkan tuan guru muda ini sering mengganti sang orang tua untuk memberikan ceramah-ceramah agama kepada jama’ahnya. Biasanya saat itu, khususnya masyarakat Desa Mamben Lauq, sering mengundang penceramah atau tuan guru dari Masbagik.

Namun setelah pulang dari tanah suci, beliau rutin mengisi ceramah agama di Mamben Lauq dan sekitarnya, sampai beliau diberi gelar oleh jama’ah adalah Tuan Guru Bajang. Hal ini didasari oleh penilaian jama’ah, karena beliau dipandang memiliki kecakapan ilmu khususnya di bidang Agama Islam.

Gelar Tuan Guru, khususnya di Lombok, merupakan sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena pendidikannya yang tinggi, namun karena dinilai telah banyak menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Dan gelar inipun tidak diberikan pada sembarangan orang.

Menyebarkan Syi’ar Islam

TGH. M. Zainuddin Arsyad, selain diekenal dengan sebutan Tuan Guru Bajang pada masa itu, dia juga dikenal sebagai pensyi’ar agama Islam di Pulau Lombok.

Salah satu jasa besar yang ditinggalkan bagi jama’ah adalah, keberhasilan beliau mendirikan sebuah organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat, yang berarti tangga pendidikan.

Dalam menjalankan misi dakwah, beliu mengawalinya dari wilayah pesisir pantai Pulau Lombok, terutama bagi penduduk yang dianggap terisolir dan jauh dari dakwah Islam, bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan.

Menurut Putra beliau, TGH. Hazmi Hamzar, kegiatan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat pesisir mulai dari ujung timur (Kabupaten Lombok Timur-red) hingga ke pesisir utara Pulau Lombok, seperti Bayan, Panggung hingga Sidutan, Kabupaten Lombok Utara.

Dari pesisir wilayah Utara, beliau melanjutkan misi dakwahnya ke Selatan, tepatnya di Bongor Kabupaten Lombok Barat.

Beberapa tokoh masyarakat menuturkan, disamping beliau menggunakan metode pendekatan, juga misinya ini diiringi dengan berdagang keliling, menelusuri pinggir pantai di Pulau Lombok. Selain itu strategi yang dikembangkan adalah menghargai adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Artinya tidak serta merta menghapus atau melarang adat dan kebiasaan masyarakat, kendati dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.

Kebiasaan masyarakat yang dimaksud adalah meminum-minuman keras, seperti tuak, Berem atau sejenisnya. Kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah membunyikan gamelan, walaupun waktu sholat tiba.

Beliu maklum, bahwa tempatnya berdakwah adalah orang-orang yang masih buta dalam ajaran agama Islam. Begitu juga dengan adat-istiadat yang masih kuat dipegang teguh oleh masyarakat seperti Wetu Telu di Bayan.

Dalam perjalanannya, beliau selalu melakukan silaturrahmi kepada para tokoh, baik tokoh adat yang dituakan oleh masyarakat setempat, maupun tokoh-tokoh agama. Beliu pertama-tama mengajarkan tentang keimanan kepada Allah SWT. Barulah setelah itu jama’ahnya diajarkan cara-cara beribadah.

Jujur, sopan dan santun serta dengan penuh kesabaran, berusaha memberikan pemahaman terhadap para santrinya. Pelan namun pasti, berkat kegigihannya dalam menjalankan misi dakwah ini, lambat laun banyak masyarakat yang sadar akan dirinya, bahwa bahwa kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadai adalah kehidupan akhirat.

Satu contoh misalnya, beliu memperbolehkan masyarakat membunyikan alat-alat musik tradisional seperti gamelan. Namun beliu menyarankan, ketika tiba waktu sholat, bunyi-bnyian tersebut dihentikan, dan berkumpul menunaikan sholat secara berjama’ah.

Cara seperti ini, tidak jauh berbeda dengan misi dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo di Pulau Jawa. (bersambung…..)

*)Penulis adalah Pimpinan Cabang Yayasan Maraqitta’limat Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Editor: M.Syairi (Kontributor Suara Komunitas.net)

1 komentar: